I.
Latar
Belakang
Letak
geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis
khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di
Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi
dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation (ENSO).
ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di
Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino). Berdasarkan
analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan
terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya
awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya
kekeringan.
Kekeringan
adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang
berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini
muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah
rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena
cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi,
ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan
dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan
sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang
ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses
sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun,
suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan
yang signifikan.
Kekeringan
menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara presipitasi dan
evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca
saja, tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat
dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air. Bertambahnya jumlah penduduk
telah mengakibatkan terjadinya tekanan penggunaan lahan dan air serta
menurunnya daya dukung lingkungan. Akibatnya kekeringan semakin sering terjadi
dan semakin meluas. Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat luas,
kompleks, dan juga rentang waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan.
Dampak yang luas dan berlangsung lama tersebut disebabkan karena air merupakan
kebutuhan pokok dan vital bagi seluruh makhluk hidup, yang tidak tergantikan
oleh sumber daya lainnya.
Datangnya bencana kekeringan belum
dapat diperkirakan secara teliti, namun secara umum berdasarkan statistik terlihat
adanya fenomena terjadinya kekeringan setiap empat atau lima tahun sekali.
Bencana kekeringan dapat disebabkan oleh curah hujan yang jauh di bawah normal
pada areal yang airnya telah dimanfaatkan secara maksimal atau pada musim
kemarau panjang. Dari segi sosial, dampak yang ditimbulkan oleh bencana
kekeringan berbeda dengan dampak bencana banjir, tanah longsor, tsunami,
ataupun gempa bumi. Pada keempat jenis bencana tersebut, secara sosial dengan
cepat dapat menghimpun bantuan dari berbagai pihak, baik jangka pendek ataupun
jangka panjang. Berbeda halnya, bencana kekeringan malahan dapat menimbulkan
perpecahan dan konflik, baik konflik antar pengguna air dan antar pemerintah.
Kekeringan
perlu dikelola dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
·
terus meningkatnya luas sawah yang
terkena kekeringan sehingga berdampak pada penurunan produksi sampai gagal
panen
·
terjadinya kekeringan pada tahun yang sama
saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal
·
periode ulang anomali iklim cenderung
acak sehingga sulit untuk dilakukan adaptasi
·
kekeringan berulang pada tahun yang sama
di lokasi yang sama
·
dampak anomali iklim bervariasi antara
wilayah
·
kekeringan hanya dapat diturunkan
besarannya dan tidak dapat dihilangkan. Dengan pertimbangan tersebut sehingga
diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
II. Penyebab
Kekeringan dan Dampaknya
Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam
yang terjadi secara perlahan (slow onset disaster),
berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas, dan bersifat
lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
Kekeringan merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan merupakan
variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam dapat terjadi dalam
hitungan hari, minggu, bulan, tahun, bahkan abad. Dengan melakukan penelusuran
data cuaca dalam waktu yang panjang, akan dapat dijumpai variasi cuaca yang
beragam, misalnya: bulan basah-bulan kering, tahun basah-tahun kering, dan
dekade basah-dekade kering.
Faktor penyebab kekeringan adalah :
·
adanya
penyimpangan iklim.
Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan
awan di sebagian Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau
sebaliknya. Ini semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi
normalnya. Jumlah uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah
hujan, apabila curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan
kekeringan.
·
adanya
gangguan keseimbangan hidrologis.
Gangguan keseimbangan hidrologis, kekeringan juga
dipengaruhi oleh adanya gangguan hidrologis seperti: 1) terjadinya degradasi
Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu mengalami alih fungsi lahan
dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang menyebabkan terganggunya sistem
peresapan air tanah; 2) kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu
menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas
tampung air menurun tajam; 3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada
musim penghujan akibat pendangkalan menyebabkan cadangan air musim kemarau
sangat rendah sehingga memicu terjadinya kekeringan.
·
kekeringan
agronomis.
Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat
kebiasaan petani memaksakan menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan
air yang tidak mencukupi.
Kekeringan
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, baik akibat alamiah dan akibat ulah
manusia.
1.
Akibat
Alamiah
·
Kekeringan
Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan
di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan
indikasi pertama adanya kekeringan.
·
Kekeringan
Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan
dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai,
waduk, danau, dan elevasi muka air tanah. Terdapat tenggang waktu mulai
berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau, dan
elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal
adanya kekeringan.
·
Kekeringan
Pertanian; berhubungan dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air dalam tanah), sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman
tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan
pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.
·
Kekeringan
Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang
memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi, seperti: rusaknya tanaman,
peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air,
terganggunya kelancaran transportasi air, dan menurunnya pasokan air baku untuk
industri domestik dan perkotaan.
·
Kekeringan
Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka
air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.
2.
Akibat
Ulah Manusia
Kekeringan
akibat manusia terjadi karena
·
kebutuhan air lebih besar daripada
pasokan yang direncanakan akibat ketidak taatan penguna terhadap pola tanam
atau pola penggunaan air.
·
Kerusakan kawasan tangkapan air dan
sumber-sumber air akibat perbuatan manusia
Berdasarkan
klasifikasi kekeringan tersebut, maka prioritas penanggulangan bencana
kekeringan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah. Khusus untuk
kekeringan yang disebabkan oleh ketidaktaatan para pengguna air dan pengelola
prasarana air, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk melaksanakan
kesepakatan yang sudah ditetapkan. Kepada masyarakat perlu dilakukan
sosialisasi yang lebih intensif, sehingga memahami dan melaksanakan pola
pengguna air sesuai peraturan/ketetapan.
Dampak
terjadinya kekeringan antara lain :
·
produksi tanaman turun/rendah/puso
bahkan menyebabkan tanaman mati sehingga merugikan petani
·
Karena produksi rendah secara riil
mengalami kerugian material maupun finansial yang besar dan bila terjadi secara
luas, akan mengancam ketahanan pangan nasional
·
menyebabkan terganggunya hidrologis
lingkungan yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau.
Kekeringan
saat ini telah membawa dampak yang lebih parah dan ancaman bencana ekologis.
Dampak kekeringan bisa kita periksa dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial,
medis, dan konflik dalam kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan saling
berpengaruh dan berkaitan satu sama lainnya.
Secara
ekologi, kekeringan telah berakibat pada kuantitas air di sumber-sumber air
semakin berkurang seperti mata air, sungai, situ, embung-embung, waduk hingga
berkurangnya ketersediaan air bawah tanah. Kekeringannya juga bisa mengancam
terjadinya kebakaran hutan, seperti yang dialami oleh hutan-hutan di Gunung
Papandayan dan Ciremai Kuningan. Kekeringan juga menunjukan fenomena
ketidakseimbangan siklus hidrologi. Mengeringnya sumber-sumber air, membawa
dampak pada lahan-lahan pertanian dan perikanan. Menurut HKTI, kekeringan di
Jawa Barat akan mengancam sekitar 650.000 ha lahan pertanian sawah. Selain itu,
ketersediaan air bersih untuk rumah tangga pun semakin berkurang.
Secara
ekonomi, kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian sawah dan ladang
berpangaruh pada menurunnya produksi hasil tani terjadinya puso dan gagal panen
sehingga berpengaruh pada berkurangnya pendapatan para petani dan buruh tani.
Bagi lahan-lahan pertanian di Jawa Barat, dampak kekeringan ini sudah di alami
masyarakat dan kaum tani perdesaan.
Kelangkaan
air akibat kekeringan juga akan berdampak pada potensi konflik sosial di
masyarakat. Masyarakat akan melakukan tindakan-tindakann sendiri karena air
merupakan kebutuhan dasar manusia.. Di beberapa daerah di Cianjur, Sukabumi,
Tasikmalaya, Cirebon, Bandung dan daerah lainnya, kita bisa menyaksikan
bagaimana masyarakat yang haus air melakukan tindakan-tindakan untuk
mendapatkan air. Kondisi ini, sungguh ironi dengan semakin merebaknya usaha
jual beli air yang dilakukan perusahaan negara, swasta dan pribadi baik yang
memanfaatkan air permukaan dan air bawah tanah.
Ancaman
kekeringan juga akan berpangaruh pada kesehatan (medis). Sengatan panas karena
kenaikan suhu udara, dehidrasi karena kekuarangan asupan oksigen dari air dan
udara bersih merupakan ancaman yang serius. Bahkan, kelaparan dan kekurangan
gizi pada wilayah-wilayah tertentu bisa terjadi karena karakter alam tanah yang
semula memang kering.
III.
Cara
Penanggulangannya Dampak Kekeringan dalam pertanian
Kemarau
dan hujan adalah bagian dari unsur dalam persenyawaan hidup manusia dan mahluk
hidup lainnya di muka bumi. Manusia tentu harus beradaptasi dalam menghadapi
kekeringan dan melakukan upaya agar tidak berdampak pada bencana ekologi yang
semakin parah. Berangkat dari penyebab kekeringan itu sendiri, maka ada
beberapa usulan sebagai jawaban. Pasti jawaban mujarab, ada pada petani,
pengambil kebijakan, para ahli dan praktisi. Usulan yang bisa diajukan
diantaranya .
Untuk
mengatasi kekeringan dapat dilakukan dengan cara:
·
gerakan masyarakat melalui penyuluhan;
·
membangun/rehabilitasi/pemeliharaan
jaringan irigasi;
·
membangun/ rehabilitasi/pemeliharaan
konservasi lahan dan air;
·
memberikan bantuan sarana produksi
(benih dan pupuk, pompa spesifik lokasi);
·
mengembangkan budidaya hemat air dan
input (menggunakan metode SRI/PTT).
Selanjutnya untuk mengatasi penyebab klimatologis
perlu melakukan;
Ø penyebaran
informasi prakiraan iklim lebih akurat;
Ø membuat
kalender tanam;
Ø menerapkan
dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian
melalui data interpretasi.
SRI (System of Rice Intensification).
Budidaya hemat air dan input pada tanaman padi salah
satunya dengan metoda SRI (System of Rice
Intensification). SRI adalah cara budidaya tanaman padi yang intensif dan
efisien dengan proses management system perakaran dengan berbasis pada pengelolaan
tanah, tanaman dan air. Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata
bukan tanaman air tetapi dalam pertumbuhan membutuhkan air, dengan tujuan
menyediakan oxygen lebih banyak di dalam tanah, kemudian tidak tergenang akar
akan tumbuh dengan subur dan besar, maka tanaman dapat menyerap nutrisi/makanan
sebanyak-banyaknya.
Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar,
pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang
menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani
memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal
menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai
petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru
dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai
organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang
dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan
cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.
Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
adalah :
·
Tanaman bibit muda berusia kurang dari
12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai
·
Bibit ditanam satu pohon perlubang
dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang
·
Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang
dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal
·
Pemberian air maksimal 2 cm
(macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi berselang/terputus)
·
Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari
dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari
·
Sedapat mungkin menggunakan pupuk
organik (kompos atau pupuk hijau)
Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah
sebagai berikut :
Ø Hemat
air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara konvensional
Ø memulihkan
kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah
Ø Membentuk
petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung
pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka
Ø membuka
lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan
keluarga petani
Ø menghasilkan
produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia
Ø mewariskan
tanah yang sehat untuk generasi mendatang
Pemanfaatan Jerami
Sering kita jumpai dilapangan setelah masa panen
padi, tumpukan jerami yang dibirkan menumpuk di sawah atau kadang hanya dibakar
saja. Sering kita menganjurkan kepada para petani untuk tidak membakar atau
membuang jerami tanaman padi di sawah.
Ada sebagian petani yang langsung membakar jerami
miliknya, dijual ke pengepul jerami untuk pakan ternak,ditumpuk begitu
saja dll. Intinya Jerami dianggap sampah
yang dibenci dan lebih baik dimusnahkan.Padahal Jerami itu bisa dimanfaatkan
oleh petani dan peternak, dan bisa menghasilkan income tambahan bagi petani.
Perlu diketahui beberapa fakta dilapangan yang
menyebabkan petani lebih suka membakar jerami:
Ø Jika
jerami kita tumpuk disawah otomatis akan menjadi sarang hama tikus bahkan
hama-hama yang lain.
Ø Jerami
yang ditumpuk memakan waktu berbulan-bulan agar bisa busuk, apalagi kalau musim
kemarau akan lebih lama lagi karena jerami cenderung kering.
Ø Jika
jerami langsung kita sebar disawah dan langsung diadakan pengolahan tanah akan
menyebabkan tanah menjadi masam (asem-asemen) kalau orang banyumas bilang.
Ø Petani
lebih suka membakar jerami karena lebih praktis dan mudah dalam mengelola
jerami. Padahal dengan dibakar otomatis jerami tersebut hanya akan menjadi abu
dan karbon di tanah. Selain itu dengan pembakaran jerami berarti petani akan
ikut andil dalam perusakan lapisan ozon pada bumi kita. Sehingga akan
mempercepat terjadinya pemanasan global.
Solusi
pengelolaan jerami yang mudah dan praktis diantaranya:
·
Membuat jerami menjadi kompos. Seperti
halnya membuat kompos dengan bahan organik lain, dalam pembuatan kompos dengan
media jerami juga memerlukan mikro organisme dekomposer untuk mempercepat
proses fermentasi. Dengan menggunakan dekomposer hanya butuh waktu 15 -20 hari
untuk membuat kompos yang siap pake dan langsung bisa diaplikasi ke sawah lagi.
Dalam proses mengkomposkan jerami bisa ditambah dengan kotoran sapi ataupun
sampah hijau (bahan organik) yang lain.
·
Membuat jerami menjadi tape jerami. Tape
jerami adalah hasil olahan jerami dengan cara difermentasi sehingga menjadi
bahan yang siap dikonsumsi ternak ruminansia. Dengan dibuat tape jerami kandungan
protein, nutrisi dan vitamin pada jerami akan meningkat. Pada pembuatan tape
jerami dekomposer yang digunakan biasanya adalah golongan jamur karena prinsip
kerjanya sama dengan pembuatan tempe. Kotoran ternak hasil mengkonsumsi tape
jerami sangat bagus digunakan untuk kompos sawah kita.
· Membuat jerami menjadi media tanam
jamur. Dalam budidaya jamur merang dan jamur kancing jerami padi merupakan
bahan yang wajib digunakan untuk media tanamnya. Limbah media jamur merang dan
kancing yang tidak digunakan sangat baik didaur ulang ke sawah digunakan
sebagai kompos.
·
Jerami Sebagai Mulsa Tanaman. Saat memasuki
musim kemarau, jerami bisa dimanfaatkan sebagi mulsa tanaman yang tujuanya
adalah mengurangi penguapan air sehingga tanaman tidak kekeringan saat musim
kemarau panjang.
Pengaturan Pola Tanam
Sehubungan dengan adanya perubahan iklim yang
terjadi di Indonesia secara umum dan Provinsi Nusa Tenggara Barat secara
khusus, maka seluruh pihak yang bergerak di sektor pertanian harus mengerahkan
seluruh daya upaya agar dampaknya terhadap produksi tanaman yang berujung pada
ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan petani, dapat dikurangi seminimal
mungkin. Oleh karenanya Kementerian Pertanian membuat strategi Antisipasi,
Mitigasi dan Adaptasi (AMA) perubahan iklim untuk mengurangi dampak perubahan
iklim terhadap sektor pertanian.
Antisipasi merupakan penyiapan arah dan strategi,
program dan kebijakan dalam rangka menghadapi pemanasan global dan perubahan
iklim. Beberapa program yang penting untuk dilaksanakan diantaranya :
penyusunan strategi dan perencanaan pengembangan infrastruktur (terutama
jaringan irigasi), evaluasi tata ruang untuk pengaturan lahan (penyesuaian
jenis tanaman dengan daya dukung lahan), pengembangan sistem informasi dan
peringatan dini banjir serta kekeringan, penyusunan dan penerapan peraturan
perundangan mengenai tata guna lahan dan metode pengelolaan lahan. Tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim.
Mitigasi adalah upaya memperlambat laju pemanasan
global serta perubahan iklim melalui penurunan emisi (pancaran) GRK serta
peningkatan penyerapan GRK. Program ini lebih difokuskan pada aplikasi
teknologi rendah emisi, antara lain : varietas unggul dan jenis tanaman yang
rendah emisi dan atau kapasitas absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa
bakar, pengembangan dan pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik,
biopestisida dan pakan ternak rendah emisi GRK. Sebagai pribadi dan komunitas,
kita juga dapat berpartisipasi dalam upaya mitigasi ini dengan mempraktekkan hal-hal
seperti : mengurangi pengunaan aerosol, menghemat air dan energi, mendaur ulang
barang-barang seperti plastik, kertas dan kardus, gelas serta kaleng.
Adaptasi merupakan upaya penyesuaian teknologi,
manajemen dan kebijakan di sektor pertanian dengan pemanasan global dan
perubahan iklim. Program adaptasi lebih difokuskan pada aplikasi teknologi
adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti penyesuaian pola tanam,
penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan, genangan/banjir,
salinitas dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian, teknologi
pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan dan lain-lain. Secara
kelembagaan program ini diarahkan untuk pengembangan sistem informasi seperti
sekolah lapang iklim, sistem penyuluhan dan kelompok kerja (pokja) variabilitas
dan perubahan iklim sub sektor pertanian serta pengembangan sistem asuransi
pertanian akibat resiko iklim (crop weather insurance).
Teknologi adaptasi yang telah dan akan terus
dikembangkan dalam menghadapi perubahan iklim di sektor pertanian adalah :
Kalender Tanam (pola tanam berdasarkan pola curah hujan dan ketersediaan air
irigasi), Varietas Unggul Baru yang
adaptif (VUB tahan kering dan umur genjah dan VUB tahan genangan), teknologi
pengelolaan sumber daya air (teknologi identifikasi potensi ketersediaan air,
teknologi panen hujan dan aliran permukaan, teknologi prediksi curah hujan dan
teknologi irigasi) serta teknologi pengelolaan sumber daya lahan/tanah seperti
pemupukan.